Royalti Hilang, Nuansa Bening Jadi Simbol Pahitnya Nasib Pencipta Lagu di Indonesia
Kasus Keenan Nasution dan lagu Nuansa Bening membuka borok lama soal royalti musik di Indonesia. Siapa yang paling dirugikan dalam industri ini?
Tim LayarUpdate
6/13/2025


(Ilustrasi)
Di Balik Nuansa Bening, Ada Luka yang Tak Terdengar
Itulah yang dirasakan Keenan Nasution, musisi legendaris Indonesia, soal lagu ciptaannya: Nuansa Bening.
Lagu yang dulu mengalun lembut di radio kini kembali populer lewat suara Vidi Aldiano, tapi justru menyisakan getir bagi sang pencipta.
Cerita Bermula dari Suara Hati Seorang Pencipta
Keenan menyuarakan isi hatinya beberapa waktu lalu: bahwa ia tidak pernah menerima royalti secara layak dari lagu Nuansa Bening, padahal lagu tersebut sudah berkali-kali digunakan — dari penampilan televisi, panggung off air, hingga platform streaming digital.
Bayangkan kamu menciptakan lagu yang menyentuh jutaan hati, dinyanyikan ulang di mana-mana, jadi soundtrack hidup banyak orang — tapi kamu tak pernah tahu ke mana larinya uang dari lagu itu.
Bukan soal uang semata. Lebih dari itu, Keenan merasa haknya sebagai pencipta hilang di tengah tepuk tangan untuk orang lain.
Vidi Menjawab: Sudah Beli Lisensi dari Label
Vidi Aldiano, yang dikenal membawakan lagu Nuansa Bening sejak tahun 2009, merespons pernyataan Keenan dengan permintaan maaf terbuka. Ia mengatakan bahwa seluruh proses perizinan lagu dilakukan melalui label resmi. Artinya, semua hak terkait sudah dibeli dan dilisensikan sesuai prosedur.
Sengkarut Royalti di Indonesia: Masih Jalan di Tempat
Kasus ini bukan yang pertama, dan sayangnya bukan yang terakhir. Di Indonesia, pembagian royalti masih sering tidak adil dan tidak transparan. Ada beberapa akar masalah:
Pencipta vs Penyanyi: Siapa yang Lebih Diakui?
Kita hidup di era di mana penyanyi sering kali lebih dikenal ketimbang pencipta lagu. Lagu yang viral, meski ciptaan orang lain, akan selalu dikaitkan dengan wajah si penyanyi.
Dalam industri musik yang sehat, kolaborasi antara pencipta dan penyanyi justru saling menguatkan. Tapi kalau salah satu merasa terpinggirkan, artinya ada yang salah dalam sistemnya.
Saatnya Kita Bertanya: Siapa yang Kita Dukung?
Bayangkan jika kamu bekerja keras menciptakan sesuatu, lalu orang lain tampil di atas panggung dengan hasil karyamu — tanpa kamu tahu, tanpa kamu diberi.
Beberapa langkah konkret yang seharusnya mulai diterapkan:
LayarUpdate Berpendapat:
Kita tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa mulai dari sekarang. Jika industri musik Indonesia ingin tumbuh, ia harus menghargai pencipta sama seperti ia mengagumi penyanyi.
Artikel ini bukan untuk membenturkan Keenan dan Vidi. Justru sebaliknya, ini panggilan untuk semua pelaku industri, termasuk kita sebagai penikmat musik, untuk lebih peduli pada hak pencipta.
Apa Solusi Nyatanya?
Reformasi sistem royalti digital. Platform streaming harus transparan membayar hak ke pencipta, bukan hanya label.
Pendidikan hukum hak cipta untuk musisi. Ini harus jadi kurikulum wajib bagi pelaku seni.
LMK yang aktif, transparan, dan berbasis teknologi. Bukan sekadar lembaga, tapi sistem real-time tracking penggunaan lagu.
Kontrak yang adil sejak awal. Musisi muda wajib tahu hak mereka sebelum menandatangani apa pun.
Regulasi pemerintah yang berpihak pada pencipta. Tidak cukup hanya UU Hak Cipta, tapi juga pengawasan pelaksanaannya.
Sebagai tambahan, Indonesia bisa belajar dari negara seperti Korea Selatan yang telah menerapkan sistem distribusi royalti secara digital dan real-time. Musisi di sana bisa memantau setiap kali lagu mereka diputar di TV, radio, atau konser — dan mendapatkan laporan langsung.
Sebagai penikmat musik, tugas kita bukan hanya menikmati — tapi juga mengapresiasi yang mencipta. Menghargai musik tidak cukup hanya dengan menyanyikannya, tapi juga memperjuangkan keadilan bagi mereka yang melahirkan nada dan kata.
FAQ – Royalti dan Hak Cipta Lagu di Indonesia
1. Apa itu royalti musik?
Pembayaran kepada pemilik hak cipta (pencipta lagu, musisi, label) atas penggunaan karya mereka secara publik.
2. Siapa yang berhak atas royalti lagu?
Pencipta lagu, penulis lirik, dan pemilik master rekaman. Idealnya, semua mendapatkan porsi sesuai kontribusinya.
3. Apakah penyanyi wajib izin ke pencipta lagu?
Ya, kecuali hak telah dialihkan ke label secara legal. Tapi secara etika, tetap sebaiknya ada komunikasi.
4. Bagaimana musisi bisa melindungi haknya?
Dengan mendaftarkan karya ke DJKI dan bergabung ke LMK resmi, serta memahami kontrak yang mereka tandatangani.
5. Apakah kasus Keenan bisa jadi pelajaran?
Sangat bisa. Ini momentum untuk edukasi publik soal pentingnya hak cipta dan keadilan bagi para pencipta.
Ditulis oleh: Tim LayarUpdate
Sumber: CNN Indonesia, Kompas, Billboard Indonesia, DetikHot, Vice Indonesia
Perasaan ini tentu bukan hanya milik Keenan. Banyak musisi di Indonesia, terutama yang aktif sejak era 80-an hingga awal 2000-an, mengalami hal serupa. Mereka menciptakan lagu yang menjadi hits, namun secara finansial tidak menikmati hasil dari kepopuleran lagu tersebut. Lagu-lagu yang diputar di mana-mana, yang dinyanyikan dalam berbagai versi, justru menjadi milik orang lain secara hukum, karena kontrak yang tidak berpihak pada pencipta.
Dan inilah permasalahan mendasar di industri musik tanah air — bahwa hukum hak cipta belum berpihak sepenuhnya pada pencipta, dan sistem distribusi royalti masih lemah dan membingungkan.
Ketidaktahuan soal hukum hak cipta. Banyak musisi awal era 80–90an yang tidak sempat mengikat kontrak yang memihak mereka.
Ketimpangan kuasa antara label dan pencipta. Label sering kali menjadi pemilik master dan akhirnya mendapat porsi royalti lebih besar.
Sistem distribusi royalti yang belum modern. Beberapa Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) belum optimal dalam mendata, menarik, dan membagikan royalti.
Kurangnya edukasi publik dan musisi muda tentang kontrak dan lisensi.
Padahal, musik bukan sekadar hiburan. Ia adalah karya intelektual. Dan hak cipta bukan hal sepele.
Apakah itu adil?
Sebagai masyarakat digital yang semakin kritis, kita juga bisa ikut mendesak perubahan. Kampanye kesadaran soal hak cipta bisa dimulai dari media sosial, komunitas musik, hingga sistem pendidikan seni di sekolah.
Namun, jawaban ini justru membuka tabir realita lain di industri musik: bahwa lisensi yang dibeli label dan penyanyi sering kali tidak menyentuh pencipta asli. Royalti yang diterima label belum tentu sampai ke tangan pencipta, apalagi jika hak atas lagu sudah dialihkan sepenuhnya di masa lalu.
Salah satu contoh yang memperkuat narasi ini adalah kasus almarhum Chrisye, yang juga pernah berselisih dengan label terkait kepemilikan atas karya-karyanya. Banyak lagu Chrisye yang hingga kini diputar dan dinikmati, namun keluarga dan pencipta lagu mengalami kesulitan dalam menagih hak royalti secara layak.
Itulah ironi yang dialami Keenan. Sebagian besar generasi muda mengenal Nuansa Bening sebagai "lagunya Vidi Aldiano" — padahal jiwanya adalah milik Keenan.
Di banyak negara maju, nama pencipta lagu bahkan ditampilkan dengan bangga. Setiap rilisan resmi menyertakan nama lengkap penulis, komposer, hingga produser. Di Indonesia, hal itu masih menjadi budaya yang belum sepenuhnya terbentuk.
Nuansa Bening adalah lagu yang indah, tapi menjadi contoh pahit bagaimana sistem kita belum ramah terhadap pencipta.
6. Apa yang bisa dilakukan masyarakat umum?
Mendukung musisi secara langsung melalui pembelian karya resmi, edukasi publik lewat media sosial, serta membagikan kisah inspiratif pencipta agar lebih dikenal.
Artikel Lainnya yang Mungkin Kamu Suka
LayarUpdate
LayarUpdate menyajikan berita viral dan opini segar setiap hari.
LANGGANAN
© 2025. All rights reserved.