Fenomena Healing: Obat Luka Batin atau Alasan Untuk Kabur dari Tanggung Jawab?
Tren healing makin ramai, tapi apakah itu benar-benar penyembuhan atau justru bentuk pelarian halus dari realita? Ini dia sisi lain fenomena healing zaman sekarang.
Tim LayarUpdate
6/10/2025


(Ilustrasi)
Fenomena Healing di Era Estetik dan Burnout
Istilah healing dulu mungkin hanya muncul di forum spiritual, klinik psikologi, atau buku self-help. Tapi sekarang? Coba buka Instagram, TikTok, atau status WhatsApp teman kamu. Kemungkinan besar ada satu kata itu muncul di antara kopi senja dan pemandangan alam.
“Need healing. Mental capek.”
“Cari udara segar buat healing dulu deh.”
Tapi pertanyaannya:
Apa Itu Healing di Zaman Sekarang?
Secara harfiah, healing berarti proses penyembuhan. Baik fisik, mental, atau emosional. Tapi di realita hari ini, maknanya bergeser jadi sesuatu yang… lebih fleksibel. Dan kadang ambigu.
Yang jadi masalah bukan aktivitasnya — tapi apakah itu benar-benar menyembuhkan, atau cuma bentuk pengalihan perhatian sementara dari masalah yang belum selesai?
“Lagi healing, jangan diganggu.”
Benarkah itu proses penyembuhan? Atau cuma bentuk pelarian yang dibungkus estetik?
Orang healing ke Bali.
Orang healing ke kafe mahal.
Orang healing dengan rebahan seharian nonton drakor.
Kenapa Healing Jadi Tren?
Menurut laporan dari Kompas Health (2024), pencarian kata “healing” meningkat lebih dari 300% sejak pandemi. Hal ini juga diamini oleh laporan Google Trends, yang mencatat lonjakan pencarian terkait self-care, mental health, dan getaway healing place sejak 2021.
Fenomena ini tidak lepas dari gaya hidup digital yang penuh tekanan, ekspektasi sosial yang makin berat, dan minimnya ruang aman untuk jujur terhadap perasaan sendiri.
Mengapa Kita Semua Tiba-Tiba Butuh Healing?
Jawabannya sederhana: karena capek.
Capek dituntut kuat. Capek dibanding-bandingin. Capek pura-pura senyum.
Zaman sekarang, beban hidup datang dari berbagai arah — media sosial, lingkungan kerja, keluarga, bahkan pasangan sendiri.
Akhirnya, orang cari jalan keluar tercepat: healing.
Dan itu gak salah. Tapi kalau jadi kebiasaan kabur dari masalah tanpa menyelesaikan akarnya, kita cuma menggali lubang lebih dalam… sambil bawa kamera buat bikin story.
Self-Care vs Self-Delusion
Fenomena healing jadi menarik karena tipis banget batas antara:
Self-care: menjaga diri biar gak meledak
Self-delusion: meyakinkan diri bahwa “semua baik-baik saja” padahal nggak
Kadang kita merasa healed hanya karena seminggu gak lihat chat kerjaan. Tapi begitu masuk Senin, luka itu kebuka lagi — bahkan lebih lebar.
Apakah itu penyembuhan, atau cuma “ngisi darah” biar bisa berdarah-darah lagi minggu depan?
Kisah Nyata: Healing Tapi Lupa Sembuh
Sebut saja Rani, 27 tahun, karyawan swasta di Jakarta. Setiap kali merasa burnout, ia akan cuti dan liburan ke luar kota. Tapi setelah kembali, rasa cemas dan putus asa justru bertambah.
“Aku kira liburan bisa bantu recharge. Tapi ternyata, begitu buka laptop dan lihat kerjaan numpuk lagi, rasanya kaya nggak pernah pergi,” katanya.
Rani bukan satu-satunya. Banyak anak muda yang berpikir healing cukup dengan "lari sebentar" dari realita, padahal sebenarnya butuh lebih dari sekadar jalan-jalan dan update story estetik.
Bagaimana Seharusnya Healing Itu Dilakukan?
Psikolog klinis Dr. Nadya Pramesrani menyebut bahwa healing yang sehat selalu melibatkan:
Refleksi terhadap emosi
Penerimaan kondisi saat ini
Menyusun ulang cara pandang terhadap masalah
Buku The Body Keeps the Score karya Bessel van der Kolk juga menekankan bahwa luka batin seringkali tersimpan dalam tubuh, dan menyembuhkannya butuh pendekatan menyeluruh: mental, emosional, bahkan fisik.
Jadi healing bukan tentang "melupakan masalah", tapi menghadapinya dengan cara yang sehat.
Haruskah Kita Berhenti Healing?
Tentu tidak. Tapi kita harus sadar bahwa healing bukan sekadar jalan-jalan ke tempat estetik.
Healing sejati itu menantang — menghadapi luka, memaafkan diri, bertanggung jawab atas pilihan.
Dan kadang… ya, kadang itu artinya kamu harus duduk sendiri, nangis semalaman, atau jujur ke orang yang paling kamu hindari: diri sendiri.
Penutup
Healing adalah kebutuhan manusia modern. Tapi seperti obat, ia harus digunakan dengan bijak.
Karena kalau tidak, kita bukan sedang menyembuhkan luka —
Kita cuma menaruh plester di atas luka lama… sambil berharap dunia gak lihat bahwa kita sebenarnya belum sembuh.
FAQ seputar Healing
1. Apakah healing harus selalu dilakukan di tempat wisata?
Tidak. Healing bisa dilakukan di mana saja selama aktivitas tersebut membantu seseorang menghadapi dan memproses emosinya.
2. Apa perbedaan antara healing dan pelarian?
Healing melibatkan proses refleksi dan penyembuhan dari dalam, sedangkan pelarian biasanya berupa tindakan untuk menghindari masalah tanpa menyelesaikannya.
3. Apakah scrolling media sosial termasuk healing?
Hanya jika digunakan untuk mencari inspirasi atau hiburan ringan. Namun jika dilakukan berlebihan, justru bisa memperburuk stres dan kecemasan.
4. Bagaimana cara tahu bahwa kita benar-benar “healed”?
Saat kita bisa mengenang luka masa lalu tanpa marah atau sedih yang meledak, dan saat kita bisa bersikap bijak terhadap emosi kita sendiri.
5. Sumber terpercaya untuk belajar soal healing?
Buku The Body Keeps the Score oleh Bessel van der Kolk, artikel psikologi di Kompas Health, DetikHealth, Tirto.id, dan konsultasi langsung dengan psikolog profesional.
Ditulis oleh: Tim LayarUpdate
Sumber: Tirto.id, Kompas Health, DetikHealth, Google Trends 2024, The Body Keeps the Score oleh Bessel van der Kolk
Artikel Lainnya yang Mungkin Kamu Suka
LayarUpdate
LayarUpdate menyajikan berita viral dan opini segar setiap hari.
LANGGANAN
© 2025. All rights reserved.